Nasab (Garis Keturunan)

Sudah menjadi kebiasaan umat islam untuk menilai seseorang berdasarkan nasabnya. Sekedar pengenalan untuk nasab, bahwsasannya sebenarnya nasab itu merupakan garis keturunan seseorang, siapa orang tuanya dan berasal dari keluarga apa, pendekatannya mungkin seperti kalangan keluarga ningrat di Pulau Jawa yang selalu melihat orang dari bibit, bebet dan bobot seseorang. Nasab meskipun berarti garis keturunan atau lebih cenderung berarti "bibit", namun definisinya sangat luas meliputi ketiga hal tadi (B-3). Yah tidak heran karena dalam bahasa arab sendiri sebenarnya banyak suatu kata yang memiliki makna yang cukup dalam, jadi tidak bisa diartikan dalam satu kata saja. Nah, hubungannya dengan umat islam itu apa?, karena islam dibawa oleh bangsa arab, maka hubungan nasab inipun juga terbawa dalam agama ini.

Namun terkadang ada pihak yang sangat berlebihan dalam mengartikan nasab ini. Berlebihan dalam arti seorang menjadi sosok yang arogan karena nasabnya. Contoh kecil itu seperti seseorang yang melanggar aturan di sebuah lingkungan hanya karena dia itu keturunan dari penguasa daerah tersebut. Di lain pihak bagi seseorang yang nasabnya tidak baik, orang lain dapat dengan seenaknya saja menghakimi dengan menilai sebagai orang yang rendah. Contohnya seseorang yang dipandang rendah orang lain lantaran dia memiliki garis keturunan perampok misalnya. Padahal, nasab itu belum tentu menggambarkan kualitas dari sikap seseorang.

Sebagai gambaran mengenai hakikat nasab. Memang nasab itu mengukur kualitas seseorang dari luar berdasarkan B3-nya. Namun sebenarnya hakikatnya adalah nasab itu digunakan untuk menilai orang secara umum, bukan secara khusus. Contoh yang pertama tadi menggambarkan seseorang yan arogan karena keturunan penguasa, namun ternyata sikapnya tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang tidak berpendidikan. Contoh kedua orang yang dinilai rendah karena garis keturunan perampok, kita tidak tahu barang kali saja ternyata meskipun orang tuanya seorang perampok, namun ternyata si orang tua ini tidak mau anaknya mengikuti jejaknya dan kemudian menitipkannya ke seorang yang cerdas dan jadilah anak tersebut sebagai orang yang arif sikapnya. Dan jika dikatakan contoh seperti kasus kedua tidak ada, maka itu adalah pandangan hidup yang sempit, sebab sudah banyak contoh yang seperti itu, meskipun dalam kasusnya hanya sedikit dari banyak kasus yang sudah ada.

Jadi kesimpulannya adalah  menilai seseorang dari nasabnya itu tidak salah, namun bukan berarti nasab seseorang itu adalah nilai mutlak bagaimana seseorang itu dipandang. Namun yang lebih penting adalah bagaimana seseorang itu bersikap dan berpikir, jika seseorang memiliki nilai positif dalam nasab yang positif maka itu wajar, dan jika seseorang memiliki nilai positif dalam nasab yang negatif itu luar biasa dan jika seseorang memiliki nilai negatif dalam nasab yang positif maka itu merupakan degradasi.

Dan bagi kita sendiri, nasab kita yang baik tidaklah berarti jika sikap kita tidak merepresentasikan gambaran nasab keluarga kita yang baik dalam perspektif masyarakat. Karena kewajiban seseorang yang memiliki nasab yang baik adalah menjaganya. Dan saya yakin, sebagian besar orang itu tidak ingin dinilai berdasarkan nasabnya, meskipun nasabnya baik. Karena nurani manusia itu sebenarnya ingin dihargai melalui apa yang telah ia kerjakan sendiri bukan yang telah dikerjakan orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petuah Bijak - Dewa 19

Renungan: Tafakkur

Kecewa?

Persepsi

Menyadari