Perahu Kertas

Perahu kertas?. Mengingatkan saya pada diri saya dulu.

Di depan rumah saya ada sungai kecil, mungkin bisa disebut demikian meskipun pada dasarnya sungai itu lebih mirip dengan saluran air karena ukurannya yang tidak begitu besar. Semenjak saya bisa melipat kertas menjadi perahu kertas, saya sering memainkannya ke sungai di depan rumah. Tapi semakin sering saya memainkannya di sungai membuat saya sadar, bahwa perahu kertas itu hanyalah mainan. Ia takkan sanggup mengarungi air dan karam tak lama kemudian.

Setidaknya itulah kesan saya dengan perahu kertas.

Hingga akhirnya muncul sebuah novel berjudul "Perahu Kertas". Dan kesan pertama saya dengan judul tersebut adalah apa yang telah saya utarakan sebelumnya.

Tapi kesan itu hilang saat saya melihat film yang diangkat dari novel tersebut. Saya mengerti bahwa mereka yang membuat perahu kertas ini bukanlah orang sembarangan. Meskipun saya belum membaca novelnya, entah dari mana saya tahu bahwa penulis novel ini sangat lihai dalam memainkan jalan cerita. Pun demikian halnya dengan amanat yang terkandung di dalamnya.

Perahu kertas, mengajak kita untuk berlayar mengikuti alur cerita dua remaja yang dipertemukan dalam satu arus kehidupan. Kugi mahasiswi sastra yang bercita-cita menjadi penulis dongeng dengan Keenan yang ingin menjadi pelukis. Sayangnya impian kedua insan tersebut harus terkubur dalam oleh realita. Kugi mengerti bahwa menjadi penulis dongeng bukanlah profesi yang memberikan jaminan kehidupan, sedangkan Keenan harus mengikuti apa yang ayahnya inginkan, sarjana ekonomi.

Semenjak pertama kali bertemu, nampaknya sudah ada rasa yang menyatukan keduanya. Kugi tertarik dengan Keenan karena pribadinya yang yakin bahwa impian bisa menjadi nyata jika kita yakin dalam menjalaninya, sedangkan Kugi memiliki pribadi yang ajaib bagi Keenan.

Pribadi Kugi yang ajaib itu lebih tepat digambarkan aneh bagi kebanyakan orang. Dari penampilan luarnya, Kugi jelaslah tidak seperti cewek kebanyakan yang suka merawat diri, Kugi bisa dikatakan cuek dengan penampilannya, atau mungkin saya bisa mengatakan Kugi lebih bebas menjalani hidup seperti apa adanya yang ia jalani. Sedangkan dari dalam, Kugi memiliki karakter pendongeng, perangainya persis seperti Pak Raden yang suka bercerita. Kugi sangat imajinatif dan terkadang ia mengeluarkan mimik serius, sepertinya ia yakin bahwa semua cerita yang ia katakan itu benar-benar terjadi.

***

Hingga akhirnya suatu saat Keenan meyakini bahwa menjadi pelukis adalah profesi yang harusnya ia jalani. Ia mengorbankan segala yang dimilikinya: keluarga dan kuliahnya. Namun saat ia sudah mantap menjalani impiannya, Keenan mendapati bahwa semua itu semu. Apa yang ia yakini ternyata hanyalah buah rekaan dari seorang wanita yang ingin mendapati simpati dari Keenan, Wanda namannya.Wanda putri pemilik salah satu galeri lukisan terkenal. Dan melalui galeri lukisan ayahnya itulah Wanda merekayasa kesuksesan Keenan di bidang melukis.

Keyakinan Keenan hilang. Kugi yang mendapati kondisi Keenan pun kecewa karena Keenan menyerah begitu saja pada impiannya. Kugi tak menyangka bahwa lelaki yang ia yakini berada dalam dunia yang sama dengan dirinya kini justru lebih meyakini realita.

Perpisahan antara keduanya pun tak terelakkan. Keduanya bagai terpisah dalam arus sungai yang berbeda. Kugi tetap menjalani kehidupannya sebagai mahasiswi sastra yang bercita-cita menjadi seorang penulis dongeng, yah setidaknya walaupun menulis dongeng merupakan kegiatan sambilan karena tidak ada jaminan bahwa penulis dongeng semuanya sukses. Sedangkan Keenan dengan bimbang pergi ke salah satu pelukis ternama di Pulau Bali. Setidaknya itulah yang dapat ia lakukan dengan kondisinya yang tak menentu.


Lika-liku kehidupan kemudian mempertemukan kedua manusia tersebut di saat keduanya telah memiliki sosok yang mereka cintai. Lantas bagaimana cerita selanjutnya?.

Next story is in the second chapter, Perahu Kertas 2.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petuah Bijak - Dewa 19

Renungan: Tafakkur

Kecewa?

Persepsi

Menyadari