Maka, Di manakah Kedaulatan Bangsa (ini) ?

Beberapa hari ini, bangsa Indonesia dikejutkan dengan peristiwa perdagangan organ dari tubuh salah satu putera bangsa kita yang menjadi TKI di negeri tetangga, Malaysia. Beberapa media massa menuliskan, bahwa dua orang warga Indonesia dari Nusa Tenggara Barat itu setidaknya kehilangan dua bola mata dan beberapa organ lain di dalam tubuhnya. Hal tersebut disimpulkan dari adanya beberapa jahitan pada jasad korban. Dituliskan pula bahwa organ dalam tubuh mereka sudah berantakan.

Membaca berita tersebut, tentu kita akan miris dibuatnya. Berita ini semacam menambah bumbu provokasi kebencian kita terhadap negeri jiran tersebut. Pasalnya dalam beberapa dekade ini, bangsa Indonesia telah "dicuri" oleh Malaysia. Dari pencurian wilayah perbatasan, hingga identitas bangsa.

Sebagai suatu bangsa yang teraniaya, harusnya kita memang tidak tinggal diam. Karena peristiwa ini berkaitan erat dengan kedaulatan bangsa ini. Saya sendiri mempertanyakan, di manakah kedaulatan negeri ini sekarang. Secara kita seperti tidak mampu menghadapi intervensi asing, mulai dari intervensi budaya, ekonomi, politik, hukum dan keamanan.

Mungkin beberapa dari kita akan mengecam, mengutuk, mencaci maki perbuatan yang dilakukan oleh negeri tetangga. Beberapa dari kita akan melakukan aksi seperti mencaci lewat dunia maya (hacking) hingga membuat sindiran dari hasil karya kita. Tidak salah memang karena itu merupakan aksi solidaritas kita sebagai suatu bangsa melalui peran dan posisi kita masing-masing. Namun apakah hanya berhenti sampai di situ, hingga semua mereda, lalu suatu saat peristiwa yang sama, atau mungkin lebih parah lagi akan terulang?.

Seorang politisi yang mengikuti berita ini berkata, "Pertanyaannya mengapa harus warga Indonesia?..." demikian sepenggal kata yang terucap saat dia diwawancarai salah satu media massa. Andai saja saat itu saya berada di sana, dan dia bertanya pada saya, maka akan saya jawab, "Karena kita, bangsa Indonesia (sudah) tidak berdaulat, tidak lagi bersikap adil, dan dilihat dari sisi perekonomian sudah tidak makmur. Itulah kesimpulan dari peristiwa di atas".

Mengapa saya katakan demikian?. Jawabannya adalah karena kita tidak makmur sehingga putera-puteri negeri ini harus mencari nafkah hingga keluar negeri, dan di luar sana mereka harus menjadi pelayan, PRT, atau sederajatnya. Dikatakan tidak adil karena kita tidak bisa bersikap adil dalam segala aspek yang berhubungan pada rakyat miskin, dari sektor pendidikan, kesehatan, sampai hukum selalu saja golongan ini menjadi kaum yang teraniaya. Tidak berdaulat karena kita sebagai suatu bangsa tidak bisa melawan segala bentuk intervensi asing, bahkan mungkin dalam pengambilan keputusan kita lebih mempercayai pihak asing daripada percaya pada bangsa kita sendiri.

Maka jika kita kembalikan pada falsafah kemerdekaan yang tersurat dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa, "yang merdeka: berdaulat, adil, dan makmur". Masing-masing dari kita dapat menyimpulkan apa arti dari semua polemik yang terjadi sekarang. Lantas apakah kita masih bisa disebut sebagai bangsa yang merdeka?.

Sebagai pribadi mestinya kita sadar, bahwa apa yang kita alami sekarang adalah hasil dari apa yang kita perbuat selama ini. Apa yang kita tuai sekarang merupakan hasil dari benih yang kita tanamkan selama ini. Kita tidak bisa menyalahkan orang lain sepenuhnya atas apa yang kita tanggung, karena pada dasarnya apa yang kita rasakan saat ini adalah hasil dari sikap maupun perbuatan kita yang telah lalu. Kita sekarang adalah produk dari sikap dan perbuatan kita di masa lampau. Maka jika kita ingin produk yang kita hasilkan di masa yang akan datang lebih baik, sekarang lah saatnya untuk memperbaiki sikap dan pribadi kita sebagai suatu bangsa.

"... Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia".


Mungkin tulisan ini akan berakhir di sini, tanpa perubahan dan pengaruh penting pada bangsa kita. Namun seperti halnya kata seorang Da'i kondang, bahwa untuk memulai perubahan itu bisa dimulai dari hal terkecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai saat ini (Aa Gym). Inilah sebatas apa yang bisa saya berikan berdasarkan posisi dan peran saya, sebagai mahasiswa yang kritis (mungkin), dan juga sebagai penulis. Dan yang saya yakini adalah perubahan itu membutuhkan proses, sedangkan proses itu membutuhkan waktu dan energi. Namun yang paling penting adalah, proses itu harus dimulai, meskipun dari langkah terkecil.

Sebagai pribadi, saya turut prihatin terhadap apa yang menimpa korban. Semoga keluarga korban senantiasa diberikan kesabaran dan ketabahan, dan semoga arwah korban diterima di sisiNya, amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petuah Bijak - Dewa 19

Renungan: Tafakkur

Kecewa?

Persepsi

Menyadari